SEORANG mahasiswa tiba-tiba saja terkejut ketika melihat sebuah buku bergambar orang dalam sikap beladiri di salah satu rak buku Toko Gunung Agung, tepat di sisi pojok utara perempatan Tugu, di simpang empat Jalan Jendral Sudirman-Jalan Diponegoro - Jl AM Sangaji – dan Jalan Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta. Toko buku itu, pada tahun 1977 merupakan satu-satunya yang terbesar dan terlengkap di Kota Pelajar tersebut. Kini (tahun 2008) toko buku tersebut sudah tidak ada lagi.
Rasa ingin tahunya mendorong ia membuka halaman demi halaman buku itu. Di sana , di buku yang dipegangnya, terlihat dengan jelas aneka foto segala gerak beladiri dalam keterangan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti. Foto-fotonya pun terpampang lugas sehingga dengan sekali melihat, si pembaca akan tahu apa yang dimaksud dan dimaui dengan gerak tersebut.
Itulah gerakan-gerakan beladiri silat. Buku itu seolah mengungkap tuntas sebuah jurus ilmu silat yang oleh banyak perguruan saat itu dianggap amat sangat rahasia dan tabu untuk diperlihatkan orang lain selain murid-muridnya.
Tetapi, di toko itu, pada tahun 1977; bukan hanya satu jurus yang dideretkan di rak tersebut. Ada beberapa buku lain yang berjudul seperti Burung Kuntul, Burung Garuda, dan Harimau. Siapa gerangan pendekar yang berani melanggar tradisi tabu perguruan silat itu?
Dialah Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo – yang kemudian dikenal dengan sapaan Pak Dirdjo atau Pak Dhe -- salah seorang keturunan bangsawan dari Keraton Pakualaman Yogyakarta, putra dari Raden Mas Paku Soerdirdjo.
Pak Dirdjo-lah pendekar yang menobrak tradisi tabu itu. Beliau sengaja menuliskan ilmu silat yang diramunya itu dan kemudian dinamakan aliran silat Perisai Diri. Di dalam buku itu, lengkap dengan foto-foto tentang gerakan teknik silat dan dijual kepada umum pada tahun 1976. Tujuannya hanya satu: berusaha memperkenalkan beladiri silat seluas-luasnya.
Beliau melakukan itu untuk membuktikan bahwa ilmu silat adalah warisan budaya Bangsa Indonesia yang mampu bersaing dengan ilmu beladiri asing lainnya yang berasal dari Jepang, Korea, maupun Cina yang kala itu berkembang pesat di Indonesia. Silat harus dikembangkan dan dicintai oleh Bangsa Indonesia . Jangan sampai silat tidak berkembang karena terkungkung tradisi tabu dan ketradisionalannya.
Upaya Pak Dirdjo itu membuahkan hasil. Silat Perisai Diri akhirnya bukan hanya berkembang di kampung-kampung, namun telah merambah ke kampus-kampus perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah. Silat Perisai Diri telah mampu mengubah pandangan masyarakat dari silat yang dianggap “kampungan” menjadi silat “kampusan”.
Perisai Diri tercatat sebagai perguruan silat yang menggelar kejuaraan antar perguruan tinggi di Indonesia sejak tahun 1975. Setelah itu secara rutin Perisai Diri menggelar kejuaraan nasional antar-perguruan tinggi. Dan hingga tahun 2004 lalu, Perisai Diri telah melaksanakan kejuaraan nasional silat Perisai Diri untuk yang ke-23 kalinya!
Merantau
Pak Dirdjo yang lahir pada 8 Januari 1913 ini sudah terlihat bakat yang menonjol dalam kemahirannya menguasai beladiri silat pada usia kanak-kanak. Pada umur 9 tahun, misalnya, ia telah mampu menguasai ilmu silat yang diajarkan di lingkungan Paku Alaman bahkan mampu pula melatih silat rekan-rekan sepermainannya.
Tampaknya Pak Dirdjo yang pada masa kecilnya dipanggil Soebandiman atau Bandiman oleh rekan-rekannya, tidak puas dengan ilmu silat yang ditelah didapatkannya di lingkungan tembok istana Paku Alaman itu. Setelah menamatkan HIK (Hollands Inlandsche Kweekchool -- sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama jurusan guru pada masa itu) di Yogyakarta, Pak Dirdjo yang berusia 16 tahun mulai merantau untuk memperluas pengalaman hidupnya.
Pak Dirdjo melangkahkan kakinya ke arah Timur. Ia menuju Jombang di Jawa Timur. Di sana ia berguru kepada Bapak Hasan Basri dalam ilmu silat, dan belajar ilmu keagamaan dan ilmu lainnya di Pondok Tebu Ireng. Untuk membiayai keperluan hidupnya, ia bekerja di Pabrik Gula Peterongan.
Setelah merasa cukup berguru di Jombang , ia melangkahkan kakinya menuju ke Barat ke kota Solo di Jawa Tengah. Di kota ini ia berguru kepada Bapak Sayid Sahab dalam bidang ilmu silat. Di samping itu ia juga melengkapi ilmunya dengan berguru kepada kakeknya sendiri Ki Jogosurasmo.
Pemuda Soebandiman ini belum puas mereguk ilmu. Ia kembali berguru ke Bapak Soegito yang beraliran silat Setia Saudara (SS). Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan pemuda ini masih belum merasa puas dengan apa yang telah ia miliki. Soebandiman alias Pak Dirjo muda ini meneruskan berguru ke Pondok Randu Gunting di Semarang, ia masih melengkapi ilmu silatnya ke Kuningan di daerah Cirebon , Jawa Barat. Semua ilmu yang didapatnya itu diolah dan melebur dalam dirinya.
Setelah merasa cukup, pemuda yang telah dewasa ini menetap di Banyumas dan mendirikan perguruan silat Eka Kalbu (Eka yang berarti satu hati). Dalam pergaulannya di kalangan ahli beladiri di Banyumas, pemuda ini bertemu dengan seorang suhu bangsa Tionghoa, Yap Kie San, yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie.
Sekali lagi, pemuda yang haus ilmu itu berteman dan berguru kepada Yap Kie San. Selama 14 tahun pemuda ini berguru kepada Yap Kie San. Ada enam saudara perguruannya yang bertahan lama diasuh oleh Suhu Yap Kie San. Empat adalah bangsa Tionghoa, dan dua lainnya dari Jawa yaitu Pak Broto Sutarjo, dan Pak Dirdjo.
Dalam masa perguruannya itu, Suhu Yap Kie San menilai Pak Dirdjo sebagai pemuda yang berbakat. Suhu Yap Kie San menghadiahi Pak Dirdjo sepasang pedang sebagai symbol kecintaan guru kepada murid terkasihnya.
Bak kata pepatah, sejauh-jauhnya burung terbang nanti akan kembali ke sarangnya juga; demikian pula Pak Dirdjo. Beliau akhirnya kembali ke Yogyakarta . Di Kota Budaya ini Pak Dirdjo diminta mengajar ilmu silat di Taman Siswa, sebuah sekolah yang didirikan oleh tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantoro yang juga pamannya.
Pak Dirdjo tidak begitu lama mengajar silat di Taman Siswa, sebab ia harus bekerja di Pabrik Gula Plered di kawasan Yogyakarta juga. Di pabrik gula ini ia menduduki jabatan Magazie Meester.
Lalu pada tahun 1947-1948, berkat pertolongan dari Bapak Djumali yang bekerja di Departemen Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi pegawai negeri di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Seksi Pencak Silat. Dengan misi mengembangkan silat itu, Pak Dirdjo kemudian mengajar Himpunan Siswa Budaya (sebuah unit kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada). Jelas saja para muridnya adalah para mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya.
Beberapa murid Pak Dirdjo kala itu seperti Mas Dalmono (Ir Dalmono – kabar terakhir ia belajar dan kemudian bekerja di Rusia), Mas Suyono Hadi (Prof DR Suyono Hadi – telah meninggal dunia dan bekerja sebagai dokter dan dosen Universitas Padjadjaran Bandung), serta Mas Bambang Moediono alias Mas Whook.
Ketika tahun 1953 Pak Dirdjo mulai pindah ke Surabaya berkaitan dengan tugasnya sebagai pegawai negeri di Kantor Kebudayaan Jawa Timur Urusan Pencak Silat, maka murid-muridnya di Yogyakarta yang berlatih di UGM maupun di luar UGM bergabung menjadi satu dalam wadah bernama Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia (HPPSI) dengan diketuai oleh Mas Dalmono.
Sementara itu di Surabaya, Pak Dirdjo kembali mengembangkan ilmu silat dalam kursus-kursus silat di lembaganya. Baru pada tanggal 2 Juli 1955, Pak Dirdjo dibantu Pak Imam Ramelan secara resmi menamakan silat yang diajarkan dengan nama Perisai Diri. Para muridnya di Yogyakarta pun kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai Silat Perisai Diri.
Di sisi lain, perguruan Eka Kalbu yang pernah didirikan oleh Pak Dirdjo secara alami murid-muridnya masih berhubungan dengan Pak Dirdjo. Mereka tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo, dan Yogyakarta . Hanya saja perguruan ini kemudian memang tidak berkembang, namun melebur dengan sendirinya ke Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan perguruan ini menjadi mudah.
Para murid Pak Dirdjo sebelum nama Perisai Diri muncul hingga kini (tahun 2008) masih hidup. Usia mereka berkisar antara 65 tahun hingga 70 tahun lebih dan masih bias dijumpai di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.
Berbahasa Indonesia
Segala teknik silat Perisai Diri ditulis dalan bahasa Indonesia yang baku . Hal itulah yang menjadikan Perisai Diri lebih mudah diterima oleh kalangan terdidik seperti mahasiswa. Penulisan teknik dalam bahasa Indonesia baku sebenarnya harus diakui sebagai langkah maju tersendiri dibandingkan perguruan lain yang masih berkutat dengan bahasa daerah asal perguruan itu berkembang.
Bahkan dengan nasionalismenya itu, Perisai Diri akhirnya bisa diterima di semua kalangan beragam suku, agama, maupun strata sosial. Dapat dipelajari oleh seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau.
Motto Perisai Diri “Pandai Bersilat Tanpa Cedera” yang juga bermakna pandai beladiri tanpa cedera, makin membuat beladiri ciptaan Pak Dirdjo bisa dipahami dengan logika. Pecinta beladiri akan mengerti bahwa seorang ahli beladiri memang sulit untuk dicederai lawan. Bisa juga berarti dalam berlatih pun ia tidak akan cedera karena kesalahan sendiri.
Unsur kecepatan dalam beladiri menjadi pegangan Pak Dirdjo. Ia mewajibkan para muridnya mampu melakukan gerakan silat minimal dua gerak dalam satu detik. Gerakan itu bisa berupa serangan, hindaran, tolakan, tebangan, ataupun paduan unsur-unsur itu. Jadilah Perisai Diri menciptakan gaya silat SATU DETIK DUA GERAK.
Istilah satu detik dua gerak itu semula dianggap sepele oleh banyak pendekar maupun pecinta silat. Akan tetapi semakin mereka banyak menyaksikan pertandingan silat yang mulai digelar sejak 1970-an, para pendekar silat maupun pecandu beladiri lain semakin memahami misteri kata “satu detik dua gerak” tersebut. Hanya seorang ahli beladiri nan piawai saja yang mampu bergerak secepat itu.
Sementara diakui atau tidak, nama-nama teknik silat Perisai Diri kini sudah diadopsi di kancah persilatan. Istilah tendangan Sabit, kemudian tendangan T (baca TE), bahkan sapuan; misalnya, sudah menjadi bukti bahwa keinginan Pak Dirdjo terwujud. Istilah itu dipakai di dunia persilatan. Bila kemudian ada beberapa perguruan baru muncul dengan menggunakan teknik Perisai Diri, itupun tidak pernah dipermasalahkan. Mungkin, para murid Pak Dirdjo pun -- tanpa setahu mereka --, kini memiliki lebih banyak saudara perguruan karena menyerap ilmu yang sama dengan nama perguruan yang berbeda.
Ada 19 macam teknik tangan kosong yang disebut teknik asli di Perisai Diri seperti Jawa Timuran, Minangkabau, Betawen, Cimande, Burung Mliwis, Burung Kuntul, Burung Garuda, Kuda Kuningan, Lingsang, Harimau, Naga, Satria Hutan, Satria, Pendeta, Putri Bersedia, Putri Sembahyang, Putri Berhias, dan Putri Teratai.
Bukan melulu teknik tangan kosong, para murid pun diajari berbagai senjata mulai dari pisau, pedang, toya, senjata lempar, sampai dengan pengembangan dari senjata-senjata itu seperti rantai, cambuk, tombak, dan lain-lainnya.
Pak Dirdjo selalu berpesan kepada murid-muridnya agar menguasai ilmu silat haruslah dengan cara mendaki dan memanjat, bukan dengan melompat. Untuk memahami ilmu silat memang memerlukan kerajinan, ketekunan, kesungguhan, dan disiplin.
Pak Dirdjo wafat usia 70 tahun, ditunggui para muridnya di Surabaya pada 9 Mei 1983. Pada tahun 1986, beliau mendapat gelar Pendekar Purna Utama dari Pemerintah Republik Indonesia .
Niat Pak Dirdjo untuk mengembangkan silat akhirnya tercapai juga. Meskipun ia belum bisa menikmati kejayaan murid-muridnya di arena beladiri silat, namun secara pasti teknik Perisai Diri ciptaannya telah merajai di beberapa pertandingan silat secara internasional.
Nama-nama seperti Joko Widodo, Herina (asal Yogyakarta), Tony Widya (Jakarta), Tri Wahyuni (Malang), Wadiah (Mataram), Suryanto, Samiaji (Bandung), A Triya (Surabaya), mampu malang melintang di kejuaraan internasional pencak silat sejak kejuaraan internasional itu digelar tahun 1987 hingga 1995.
Keharuman nama Perisai Diri masih dilanggengkan oleh pesilat Made Arya Damayanti, Ayu Ariati, Ni Nyoman Suparniti, dan I Nyoman Yamadhiputra ( Bali ) pada periode 1995 - 2005. Arena nasional hingga dunia mereka jelajahi dengan teknik Perisai Diri dengan memperoleh medali emas.
Pendekar pendobrak tradisi tabu itu pula yang akhirnya mampu meyakinkan orang-orang Eropa seperti Belanda (1970), Jerman (1983), Inggris, Swiss (1999), Hongaria, Australia (1979), Amerika Serikat (2000), Thailand (1995), Filipina (1995), bahkan Jepang (1996) untuk mempelajari Silat Perisai Diri. Silat mudah diterima, bisa dilogika. Silat sudah mendunia.
Lagi-lagi, di luar Indonesia, murid-murid Pak Dirdjo di Eropa, Amerika, dan Australia mampu menunjukkan bahwa beladiri khas Indonesia itu mampu mengibarkan benderanya di pertarungan antar-aliran beladiri di sana.
Tidak mengherankan jika penulis aliran beladiri seperti Donn F Draeger menulis silat Perisai Diri dalam bukunya The Weapons and Fighting Arts of Indonesia pada tahun 1972. Akan tetapi ia belum puas. Jika dalam buku pertamanya ia menulis beberapa gaya perguruan pencak silat di Indonesia; maka ia kembali mengupas lebih dalam untuk silat Perisai Diri pada buku keduanya yang berjudul: Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai Diri pada tahun 1978.
Penjelasan secara detil disertai bukti praktik dalam bersilat yang ditunjukkan Pak Dirdjo yang membuat Draeger bertekuk-lutut mengakui bahwa Perisai Diri memang layak mendapat tempat khusus. Foto-foto Pak Dirdjo dalam bersilat ditemani para muridnya di Surabaya memenuhi halaman buku keduanya tersebut.
Tidak berlebihan jika saat ia dipanggil Tuhan Yang Maha Esa, jumlah muridnya yang tersebar di Indonesia dan beberapa negara telah mencapai 50.000 lebih sehingga menempatkan Perisai Diri sebagai salah satu perguruan besar di antara 800 perguruan silat di Indonesia. (***)